pontianaknews.web.id – Di atas lantai tatami dingin di Johor Bahru, Malaysia, tiga nama kecil dari tepian Sungai Kapuas berdiri dengan kepala tegak: Ibnu Haifham, Fadhila Putri, dan Sri Hafshah Kamilatunnisa.
Mereka bukan sekadar anak-anak yang bertanding. Mereka adalah tiga lentera kecil dari Pontianak yang menolak padam, membawa harapan besar dari kota di tepi Kapuas menuju panggung internasional.
Dalam ajang Johor International Judo Championship 2025, kompetisi bergengsi yang mempertemukan ratusan atlet muda dari berbagai negara Asia Tenggara, tiga bocah ini menulis kisah yang lebih dalam dari sekadar medali—kisah tentang ketekunan, keberanian, dan cinta pada perjuangan.
Medali dari Keringat dan Doa
Ibnu menggenggam perak di kelas B8 22 kilogram putra.
Fadhila, gadis mungil bertekad baja, juga membawa perak dari kelas B13 40 kilogram putri.
Sedangkan Hafshah, si bungsu berusia lima tahun, pulang dengan perunggu—yang nilainya jauh lebih besar dari warna logamnya.
Karena di balik medali itu, ada air mata pertama seorang anak yang belajar jatuh, bangkit, dan menunduk hormat kepada dunia.
“Prestasi ini menunjukkan kerja keras dan semangat belajar yang tinggi bisa membuahkan hasil luar biasa,” ujar pelatih sekaligus Ketua Umum PJSI Kota Pontianak, Hajon Mahdy Mahmudin, dengan mata yang tak bisa menyembunyikan rasa bangga.
Berjuang Tanpa Sponsor, Hanya Dengan Tekad
Ketiganya datang ke Malaysia bukan dengan sponsor besar atau fasilitas megah.
Mereka datang membawa tekad, doa, dan tabungan sederhana orang tua, yang disisihkan dari sisa belanja dapur agar anak-anaknya bisa bertanding di negeri seberang.
Setiap kali kaki kecil mereka menapak di atas matras judo, setiap napas seolah membawa doa dari rumah kecil di Pontianak:
“Jangan takut, Nak. Jatuh itu bagian dari belajar.”
Latihan di Ruang Sempit, Mimpi di Ruang Luas
Di ruang latihan sederhana di Kota Pontianak, Hajon melatih mereka bukan sekadar teknik bertarung, tetapi juga kepercayaan diri dan kesabaran—dua hal yang kadang lebih sulit dari menumbuhkan kekuatan otot.
“Kami berharap semakin banyak anak-anak yang tertarik pada judo. Olahraga ini tidak hanya melatih fisik, tapi juga karakter dan rasa percaya diri,” katanya.
Bagi Fadhila, judo mengubah cara pandangnya terhadap ketakutan.
“Dulu aku takut lawan yang lebih besar. Tapi pelatih bilang, yang hebat bukan yang tak pernah jatuh, tapi yang mau bangkit,” ujarnya sambil tersenyum malu.
Mimpi Kecil dari Kota Kecil
Di tengah negeri yang sering heboh karena skor sepak bola, kisah kecil dari cabang olahraga seperti judo kerap luput dari perhatian.
Padahal, di sinilah makna sejati olahraga hidup — di peluh anak-anak yang jujur bermimpi.
Keikutsertaan tiga atlet cilik ini bukan sekadar angka di papan skor.
Ia adalah pengingat pentingnya pembinaan usia dini, bukan sebagai seremoni, tapi investasi nyata bagi masa depan olahraga Indonesia.
Dari ruang latihan sederhana di Pontianak, semangat mereka menjadi simbol pembangunan karakter bangsa.
Mereka belum tahu apa itu “politik anggaran”, tapi mereka paham betul arti kerja keras dan cinta tanah air.
Langkah Kecil, Arti Besar
Hafshah, yang baru lima tahun, mungkin belum tahu arti “internasional”.
Namun, ketika ia menunduk memberi hormat setelah pertandingan, dunia tahu: di balik tubuh kecil itu, ada jiwa besar yang sedang tumbuh dengan cinta dan disiplin.
Pelatih Hajon menyebut keberhasilan ini sebagai “langkah awal pembinaan judo usia dini.”
Namun sejatinya, ini adalah langkah kecil menuju kesadaran besar—bahwa setiap anak berhak berjuang di atas tatami kehidupan, asal diberi ruang dan keyakinan.
Tiga medali dari Johor mungkin tak akan mengubah peta dunia.
Tapi bagi Pontianak dan Indonesia, kisah ini adalah pesan lembut dari anak-anak negeri:
“Mimpi tidak harus megah untuk disebut berharga.”
Cek juga artikel paling seru dan top di carimobilindonesia.com

