pontianaknews.web.id Isu mencengangkan datang dari balik tembok Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IIA Pontianak. Beberapa narapidana diduga terlibat dalam praktik penipuan daring bermodus video call seks (VCS) yang menjerat banyak korban, termasuk masyarakat umum hingga aparatur negara. Kasus ini kembali menyoroti lemahnya pengawasan aktivitas warga binaan di lembaga pemasyarakatan, terutama dalam penggunaan perangkat komunikasi yang seharusnya dilarang.

Modus yang Terstruktur dan Meyakinkan

Dari hasil penelusuran awal, modus penipuan ini terbilang rapi dan sistematis. Para pelaku disebut berpura-pura menjadi perempuan muda di aplikasi pertemanan daring seperti Michat dan Tantan. Mereka menggunakan foto-foto hasil curian dari media sosial untuk membangun identitas palsu yang tampak meyakinkan.

Setelah mendapatkan target, pelaku menggoda korban untuk melakukan panggilan video pribadi dengan iming-iming percakapan intim. Dalam sesi tersebut, korban diarahkan agar bertindak tanpa busana, sementara pelaku diam-diam merekam layar video call tersebut.

Beberapa saat kemudian, pelaku mengirimkan hasil rekaman ke korban dan mulai melakukan ancaman. Mereka menuntut uang dengan dalih agar video tersebut tidak disebarkan ke publik, terutama ke pihak keluarga atau atasan korban. Jumlah uang yang diminta bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung dari status sosial target mereka.

Korban Tidak Hanya dari Kalangan Sipil

Yang mengejutkan, korban penipuan ini ternyata tidak hanya berasal dari masyarakat umum. Berdasarkan keterangan sumber internal yang enggan disebutkan namanya, sejumlah aparatur negara, termasuk pegawai pemerintahan daerah, juga menjadi korban jebakan VCS tersebut.

“Banyak dari mereka yang malu melapor karena khawatir reputasinya rusak. Biasanya mereka langsung mentransfer uang agar video itu tidak disebar,” ujar sumber tersebut.

Dalam beberapa kasus, pelaku bahkan sengaja menargetkan korban dari kalangan tertentu yang memiliki posisi strategis. Motifnya bukan hanya untuk mendapatkan uang, tetapi juga memanfaatkan rasa takut korban agar bisa memeras berulang kali.

Dugaan Operasi dari Dalam Rutan

Fakta paling mengejutkan adalah dugaan bahwa aksi ini dijalankan langsung dari dalam Rutan Kelas IIA Pontianak. Para pelaku diduga memiliki akses terhadap ponsel dan internet dengan cara menyelundupkan perangkat tersebut ke dalam sel.

Aktivitas mereka berlangsung diam-diam, namun terekam melalui sejumlah laporan masyarakat yang mengaku dihubungi oleh akun-akun mencurigakan. Beberapa korban kemudian melapor ke kepolisian setelah merasa dirugikan secara finansial dan psikologis.

Kepala Rutan Pontianak, melalui pernyataan resminya, menyebutkan bahwa pihaknya telah melakukan investigasi internal. Tim gabungan dari Rutan, kepolisian, dan Kemenkumham Kalimantan Barat tengah menelusuri asal perangkat yang digunakan serta jaringan di balik aksi ini.

“Kami tidak menoleransi penyalahgunaan fasilitas di dalam Rutan. Setiap bentuk pelanggaran akan kami tindak sesuai prosedur,” tegasnya.

Reaksi Publik dan Tekanan Sosial

Kasus ini menimbulkan kehebohan besar di dunia maya. Tagar yang menyinggung praktik penipuan daring ini ramai dibicarakan di berbagai platform media sosial. Banyak warganet yang mengecam keras lemahnya pengawasan di lembaga pemasyarakatan, sementara sebagian lainnya menyalahkan korban karena dianggap lengah dalam menggunakan aplikasi kencan.

Namun, sejumlah pakar keamanan digital menilai bahwa fokus utama seharusnya adalah memperbaiki sistem pengawasan. “Jika benar dilakukan dari dalam Rutan, ini bukan sekadar penipuan biasa. Ini menunjukkan celah besar dalam kontrol perangkat digital di lembaga tertutup,” ujar salah satu analis siber dari Pontianak Digital Watch.

Sisi Gelap Aplikasi Kencan

Fenomena ini juga membuka kembali perbincangan tentang maraknya kejahatan digital di aplikasi kencan. Michat, Tantan, dan beberapa platform serupa kerap disalahgunakan sebagai tempat perekrutan korban penipuan atau eksploitasi seksual daring.

Data dari Pusat Pelaporan Siber Indonesia menunjukkan bahwa dalam dua tahun terakhir, jumlah laporan terkait VCS scam meningkat hampir dua kali lipat. Kebanyakan korban adalah pria usia produktif yang tergiur oleh rayuan akun palsu.

Mereka biasanya diajak berkomunikasi intens selama beberapa hari untuk membangun kepercayaan. Setelah korban merasa nyaman, pelaku mulai memancing untuk melakukan panggilan video dengan alasan pribadi. Hanya dalam hitungan menit, jebakan pun menjerat.

Peringatan untuk Masyarakat

Kepolisian Kalimantan Barat telah mengimbau masyarakat untuk lebih waspada terhadap permintaan video call dari orang tidak dikenal, terutama jika dilakukan lewat aplikasi kencan atau media sosial. Polisi juga mengingatkan agar tidak mudah tergoda oleh ajakan yang menjurus pada hal pribadi.

“Jika sudah menjadi korban, jangan panik dan jangan langsung menuruti permintaan pelaku. Segera lapor ke pihak berwajib agar bisa ditangani secara hukum,” tegas perwira penyidik yang menangani kasus ini.

Selain itu, masyarakat diminta untuk tidak menyebarkan video atau informasi yang berkaitan dengan korban, demi menjaga privasi dan mencegah trauma lebih lanjut.

Evaluasi Pengawasan di Rutan

Sementara itu, Kementerian Hukum dan HAM wilayah Kalimantan Barat dikabarkan tengah melakukan evaluasi besar-besaran terhadap sistem pengawasan di seluruh Rutan dan Lapas. Fokus utamanya adalah pada penyelundupan alat komunikasi yang memungkinkan terjadinya kejahatan siber dari balik jeruji.

Pengawasan digital di lingkungan pemasyarakatan disebut akan diperkuat dengan sistem deteksi sinyal dan pemeriksaan rutin menggunakan alat pemindai frekuensi.

“Kalau benar ini dilakukan dari dalam Rutan, kami tidak akan segan mengambil langkah tegas. Semua pihak yang terlibat, termasuk oknum petugas, akan diperiksa,” ujar salah satu pejabat Kemenkumham.

Cermin dari Krisis Etika Digital

Kasus penipuan ini menjadi refleksi serius tentang bagaimana teknologi yang seharusnya memudahkan kehidupan justru bisa menjadi alat kejahatan. Di balik kemajuan digital, masih banyak ruang abu-abu yang mudah disalahgunakan oleh individu tidak bertanggung jawab.

Peristiwa ini juga menjadi peringatan bahwa literasi digital bukan hanya tentang kemampuan menggunakan gawai, melainkan juga tentang etika, kehati-hatian, dan kesadaran sosial.

Pada akhirnya, penipuan daring seperti ini bukan sekadar masalah kriminal, tetapi juga cermin dari rendahnya kesadaran moral dalam memanfaatkan ruang digital. Jika tidak segera ditangani secara sistematis, kasus semacam ini bisa terus berulang dan menjerat lebih banyak korban dari berbagai lapisan masyarakat.

Cek Juga Artikel Dari Platform beritapembangunan.web.id